Menyapa Willems Torren III, Lampu Suar di Pulau Terluar


Satu lagi kisah menarik yang saya temukan di Pulau Breueh. Kedamaian yang saya rasakan tidak berhenti usai berkemah malam sebelumnya. Agenda berikutnya adalah mengunjungi sebuah bangunan tua peninggalan Belanda di Pulau Breueh, Aceh. Mercusuar Willems Torren III namanya. Bangunan yang sering disebut lampu oleh orang lokal ini terletak di Desa Meulingge, sebuah desa di bagian paling utara pulau.

Bukan tanpa alasan dahulu banyak orang memilih menggunakan kapal atau perahu melalui jalur laut untuk menuju mercusuar ini. Jalur darat yang memiliki medan berat dengan jalan tanah berbatu memang tidak mudah untuk ditaklukkan. Namun itu dulu. Ketika saya berkunjung pertengahan september lalu, beberapa ruas jalur darat menuju Desa Meulingge dari Desa Gugop sudah mulai mulus, walaupun di beberapa bagian masih dalam tahap pengaspalan. Perjalanan berkendara motor yang dulunya bisa sampai 3 jam sekarang sudah terpangkas setengahnya.

Jalan raya di Pulau Breueh masih dalam tahap pengaspalan

Dalam perjalanan menuju mercusuar, kami singgah dulu ke pantai Balu, sebuah pantai cantik yang berjarak setengah jam perjalanan dari Desa Gugop. Tidak jauh berbeda dengan pantai Lambaro yang kami gunakan untuk berkemah malam sebelumnya, pantai Balu ini juga berkontur panjang, landai, dan memiliki pasir yang putih dan lembut. Alangkah nikmatnya apabila saya bisa menyeburkan diri di laut untuk sedikit mengalahkan teriknya matahari siang itu. Teriknya memang cukup menyiksa. Apalagi saya tidak membawa sunblock lotion. Namun mengingat perjalanan menuju mercusuar masih cukup panjang, saya urungkan niat itu.

Saya gembira melihat Pulau Breueh ini berbenah. Di sepanjang perjalanan, pekerjaan konstruksi jalan banyak dilakukan. Walaupun kelelahan nampak terukir jelas di wajah para pekerja, namun senyum dan sapa yang mereka tunjukkan ketika membalas sapaan saya terlihat sangat ikhlas. Dengan penuh semangat mereka mengoperasikan alat berat pemecah batu dan beberapa alat berat penghalus jalan.

salah satu jendela bangunan mercusuar

Tidak terasa, sampailah kami di desa Meulingge. Selain merupakan desa yang berada paling utara di pulau ini, Meulingge juga merupakan desa paling barat di Indonesia. Memang letak pulau Breueh ini berada di sebelah barat pulau Weh yang terkenal dengan kota Sabangnya. Dan apabila ditarik garis di peta, desa inilah yang berada di paling barat Indonesia.

Walaupun sudah semakin dekat dengan mercusuar, namun perjuangan sebenarnya baru dimulai dari sini, sebuah jalan yang berada tepat di depan SD Negeri Meulingge. Di ujung jalan inilah sang lampu suar berada. Jalan tanah berbatu yang licin akibat hujan hari sebelumnya membuat ban sepeda motor saya sering tergelincir. Apalagi ditambah jalan yang menanjak dan berkelak-kelok. Waspada dan konsentrasi merupakan hal yang wajib dilakukan di sini. Tidak hati-hati bisa berakibat fatal, jatuh ke jurang di sisi kiri. Namun asyiknya, suasana menjadi adem karena pepohonan besar dan semak belukar berjejer sepanjang jalan.

Setelah berjuang menaklukkan jalan terjal selama kurang lebih 40 menit, tampaklah sebuah menara lampu berwarna merah putih yang berdiri gagah di ujung jalan. Williem III atau Williem Alexander Paul adalah seorang penguasa Belanda yang memiliki andil besar dalam melakukan pembangunan mercusuar ini. Bangunan yang didirikan pada tahun 1875 ini pada awalnya memang disiapkan untuk mendukung kawasan Sabang, Pulau Weh, yang dijadikan sebagai pelabuhan bebas oleh Belanda. Kapal-kapal yang melewati Selat Malaka akan transit di Sabang. Infrastruktur navigasi seperti mercusuar ini pun dibangun. Namun, usai kekalahan Belanda dari Jepang pada tahun 1942 pudar pula pesona Pelabuhan Sabang yang sempat berjaya di abad 19. Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa pekerjaan pembangunan mercusuar ini selesai bertepatan dengan ulang tahun ke-65 Willem III. Tidak hanya mercusuar ini saja, semua bangunan yang selesai pada masa itu didedikasikan untuk sang raja. Selain di sini, terdapat juga mercusuar Willems Torren di Karibia dan di Belanda. Namun yang masih berfungsi hanya mercusuar ini dan di kepulauan Karibia. Menara lampu Willems Torren di Belanda telah beralih fungsi menjadi museum.

Pemandangan dari atas bangunan lampu suar

“Saya menjadi petugas di mercusuar sudah sejak tahun 1989. Tiap 2 bulan sekali saya bergiliran bertugas dengan petugas lain. Misalnya sekarang saya di sini, 2 bulan lagi saya ganti jaga di mercusuar Pulau Rondo, lalu 2 bulan lagi ganti ke Pulau Simeulue. Begitu seterusnya”, seorang bapak paruh baya yang bertugas sebagai kepala mercusuar bercerita. “Kami berlima di sini. Semuanya warga pendatang. Saya asli Sabang. Keluarga saya di sana semua”, lanjut bapak itu bercerita. Saking khusyuknya mendengarkan beliau bercerita, saya sampai lupa berkenalan. Para petugas inilah yang bertugas memastikan mercusuar berfungsi dengan baik. Keganasan Samudera Hindia karena arus kencang dan ramainya lalu lintas perairan Selat Malaka menjadikan alat pemandu transportasi laut ini memiliki peran yang sangat vital.

Usai berbincang, saya melangkahkan kaki menuju menara suar melewati bangunan-bangunan tua yang juga merupakan peninggalan Belanda. Dinding bangunan tampak kusam dan mulai retak, kayu-kayu pintu dan kusen melapuk, ditambah banyak tanaman menjalar yang memenuhi atap dan dindingnya membuat nuansa terlihat sedikit angker. Saya pun bergegas menuju pintu menara.

Lampu suar. Di kejauhan tampak Pulau Weh

Hawa pengap dan lembab membelai hidung ketika saya memasuki pintu menara. Saya menaiki tangga yang berbentuk spiral menuju ke atas. Beberapa anak tangga tampak keropos, berkarat dan bahkan ada yang sudah tanggal. Saya melangkah dengan hati-hati. Tangan saya berpegangan pada batangan besi di sisi kanan, khawatir jika anak tangga yang saya injak mendadak lapuk. Mata saya pun tidak lepas dari anak tangga. Sesekali saya harus melangkah lebih lebar untuk menghindari anak tangga yang sudah tanggal.

Akhirnya saya berhasil berada di puncak menara setinggi 85 meter ini. Baru kali ini saya berada di dalam mercusuar. Lampu suar yang besar menjadi perhatian pertama saya. Suara hembusan angin yang cukup kencang beradu dengan dinding kaca ruangan lampu membuat gaduh suasana. Di bagian luar ruangan terdapat teras yang dikelilingi oleh terali besi bercat merah. Saking kencangnya angin menerpa, tangan saya menggenggam erat pembatas besi itu. Khawatir bila tubuh saya diterbangkan angin. Tentu saja kekhawatiran saya itu berlebihan.

Saya melepaskan pandang ke segala penjuru. Di sisi timur laut, Pulau Weh tampak jelas. Di bagian bawah, tampak air laut biru dengan riak dan deburan ombak yang sayup-sayup terdengar. Di kejauhan, beberapa kapal nelayan juga terlihat hilir mudik. Saya berdiri bersandar di dinding menara. Membayangkan bagaimana dulu menara suar ini dibuat. Membayangkan apabila menara berusia ratusan tahun ini bisa berbicara pasti banyak sekali pengalaman yang bisa ia ceritakan. Bagi saya, mercusuar ini bukan hanya seonggok peninggalan penjajah Belanda. Menara ini adalah bukti sejarah. Sejarah kebesaran negeri ini. Melihat pemandangan yang terhampar luas ini menyadarkan saya bahwa Indonesia, negeri tempat saya lahir dan besar, adalah negeri yang kaya raya. Tidak mungkin penjajah sampai ke sini kalau kita bukan negeri kaya. Berkunjung ke mercusuar Willems Torren III ini semakin membuat saya mencintai Indonesia.

Ujung Pulau Breueh

Mercusuar Willems Torren III, Aceh, Indonesia