Langit Kota Beijing Tak Pernah Biru


Saya merasa bukan orang yang susah untuk beradaptasi di tempat baru. Bertahun-tahun tinggal di perantauan saya buktikan bisa dengan mudah menyatu dengan tempat baru yang sangat berbeda budaya, kebiasaan, dan bahasanya dari kampung halaman saya. Pun saat traveling, hampir tidak pernah saya kesulitan beradaptasi. Terutama soal makanan, wong saya omnivora. Asal halal dan bukan makanan aneh-aneh (contoh aneh adalah kecoak), saya doyan kok.

Tapi tidak semua tempat ternyata membuat saya betah. Seperti saat ke Beijing beberapa waktu lalu. Ada banyak alasan saya merasa betah di sana. Selain makanan yang enak, tempat-tempat wisata yang eksotis dan unik adalah alasan kenapa Beijing sangat menarik disambangi. Namun di balik itu, ada dua hal yang membuat saya kurang betah saat berada di Beijing beberapa waktu lalu, yaitu polusi dan toilet. Sebenarnya betah juga sih, tetapi rasanya agak tersiksa. Kali ini, saya akan bercerita tentang polusi kota Beijing.

image_1

Hari pertama di Beijing, wajib pakai masker (photo groupie by Pandji)

“Jangan lupa ya bawa masker”, kalimat tersebut berkali-kali diingatkan oleh Vira, sekretarisnya Pandji dan Zaindra, manajernya Pandji. Di hari terakhir sebelum saya berangkat ke Beijing, saya belilah 5 buah masker berwarna hijau muda biasa yang dijual di apotek-apotek. Pikir saya, 3 hari di Beijing 5 masker pasti cukuplah. Walaupun sebenarnya dalam diri saya meragukan sekaligus penasaran, sejelek apa sih udara di Beijing.

Keluar dari Beijing Capital International Airport hari masih gelap. Perbedaan waktu 1 jam dari Jakarta membuat matahari saat pukul 06.00 (waktu setempat) belum menampakkan wujudnya. Dingin langsung menusuk kulit. Saat itu suhu udara 1 derajat celcius menyambut kami. Untungnya untuk menghadapi dingin saya sudah cukup punya persiapan, 2 buah jaket winter, beberapa potong sweater, 1 pasang longjohn, dan 1 buah hoodie MBWT yang hangat sudah lebih dari cukup untuk berperang melawan musim dingin di Beijing. Udara musim dingin Beijing bukan masalah bagi saya.

Kabut mulai terlihat saat sinar matahari mulai menghangatkan Beijing. Sejauh mata memandang yang saya lihat hanya warna abu-abu kabut. Saya pikir mungkin karena ini musim dingin jadi kabutnya tebal. Biasanya saat berada di tempat berudara dingin saya suka menghirup napas dalam-dalam merasakan kesegaran udara. Itu juga saya lakukan di Beijing. Namun, alih-alih udara segar yang saya hirup, terasa sesak hidung dan dada saya. “Ini bukan kabut. Ini udara polusi”, Rebecca dan Indira, 2 crew Cabe Rawit yang menemani kami selama di Beijing menjelaskan. Apa? Kabut setebal ini adalah polusi?

20141121-IMG_9984

Biru seperti ini sudah maksimal

Jangankan udara berpolusi, bagi saya asap rokok saja sudah membuat saya terganggu. Berada di tengah kemacetan Jakarta juga bisa membuat saya batuk-batuk hebat dan pusing karena menghirup asap kendaraan. Biasanya sih itu terjadi saat tubuh saya kurang fit. Lha gimana ini mau menghirup polusi selama beberapa hari ya?

Apa sih penyebab polusi udara di Beijing? Kata Indira dan Rebecca sih mayoritas karena asap pabrik. Tahu sendiri kan negara Tiongkok memproduksi banyak barang-barang untuk diekspor? Selain memasok sepatu, mainan, elektronik, dan barang-barang lainnya ke seluruh dunia, pabrik-pabrik itu juga mengasilkan polusi udara di Tiongkok, salah satunya di Beijing. Dan benar saja, tak lama perjalanan dari bandara menuju kota, di kejauhan saya melihat cerobong asap besar mengeluarkan asap berwarna hitam keabuan. Serem banget!

Ada istilah APEC Blue Skies di kalangan warga Beijing. Beberapa minggu sebelum kami ke Beijing memang diadakan pertemuan pemimpin-pemimpin negara APEC di Beijing. Untuk mengurangi polusi, Pemerintah Tiongkok meliburkan pabrik dan kantor-kantor selama 6 hari. Kendaraan bermotor pun dibatasi di jalan-jalan raya utama. Hasilnya, langit kota Beijing berwarna biru selama pertemuan APEC berlangsung.

Suasana pagi di Beijing

Suasana pagi di Beijing

Namun itu tak berlangsung lama. Buktinya saat kami ke sana, langit Beijing kembali berwarna abu-abu. Jadilah kami ke mana-mana memakai masker. Masker yang saya bawa dari rumah tidak sempat saya pakai karena saya memakai masker yang lebih bagus di Beijing, dikasih sama Rebecca dan Indira. Untung saja kegiatan kami selama MBWT cukup banyak di dalam gedung, jadi ya masalah polusi udara sedikit teratasi.

Selama 4 hari kami berada di Beijing, hari pertama terasa sangat berpolusi. Hari kedua dan ketiga langit Beijing agak sedikit cerah, walaupun tidak berwarna biru. Analisis saya karena dua hari itu adalah akhir pekan sehingga pabrik-pabrik ada yang libur. Sebuah analisis yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya tentu saja. Tetapi sepanjang pengamatan saya pada 2 hari akhir pekan itu di kejauhan tidak terlihat asap pabrik yang membumbung di udara.

Yah, walaupun polusi udara di Beijing bisa saya katakan sangat parah, tapi untuk hanya 3-4 hari berada di sana saya masih merasa wajarlah. Terganggu sih, tapi tidak terlalu. Jika merasa polusi udara di Jakarta parah dan sangat mengganggu, itu tidak ada apa-apanya sama udara di Beijing. Mendadak saya jadi bersyukur tinggal di sekitaran Jakarta yang walaupun berpolusi udara juga tetapi saat-saat tertentu, pagi hari misalnya, masih bisa saya hirup udara yang segar. Dan selama di Beijing saya jadi mikir, Pemerintah Tiongkok sepertinya kurang sayang sama warganya sendiri deh. Udara bersih dan langit biru cuma terjadi saat tamu-tamu negara APEC berkunjung ke sana. Jika merasa Pemerintah Indonesia suka pencitraan, Tiongkok ternyata lebih PENCITRAAN.