Jurnal Perjalanan: Dieng (Day 2)
Fajar menyingsing, adzan subuh mulai berkumandang, dan saya sudah terjaga sebelum terdengar adzan. Rasa bergairah ingin menyambut sinar matahari pertama yang menyapa Dieng pagi ini mengalahkan rasa kantuk, lelah, bahkan menyumsumnya udara dini hari. Bergegas saya mengambil air wudhu dan menunaikan shalat Subuh. Usai Subuh, Mas Dwi, guide kami seharian nanti sudah menunggu di lobi penginapan. Rencananya seharian nanti, saya dan Indra, kawan saya, dan 1 grup pelancong lain akan ikut menjelajah tempat menarik lain di Dieng ditemani Mas Dwi, karena tempat yang akan kami kunjungi seharian nanti relatif jauh dan susah aksesnya.
Setelah menunggu beberapa saat, beberapa kawan perjalanan kami itu pun siap berangkat. Tujuan pertama adalah menikmati matahari terbit di Gunung Sikunir. Karena mereka membawa mobil, Mas Dwi ikut sama mereka. Sedangkan saya dan Indra naik motor. Bisa bayangkan bagaimana kami harus menahan dinginnya udara Dieng dini hari sambil naik motor? Iya, memang dingin sekali. Tapi kami tidak gentar. Tetap bersemangat menyongsong matahari pagi di gunung Sikunir.
Gunung Sikunir
Ada peribahasa berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian, yang artinya bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Di hari kedua menjelajah Dieng ini, kami juga akan banyak mempraktekkan peribahasa tersebut. Seperti sebelum menikmati keindahan matahari terbit dari balik Gunung Sindoro, kami harus berjalan kaki menanjak Gunung Sikunir menuju lokasi penyambutan sunrise selama kurang lebih 30 menit. Lokasi yang sangat strategis, tepat di hadapan kami Gunung Sindoro berdiri gagah. Langit yang gelap mulai berwarna jingga. Perlahan sang surya yang mengintip malu-malu dari balik Gunung Sindoro mulai muncul menyapa kami. Tidak, tidak pas dari balik Sindoro, lebih tepatnya sang surya menampakkan wujudnya dari balik Gunung Merapi yang nampak di kejauhan.
Sinar matahari pagi mulai terasa hangat, namun tetap tidak bisa mengalahkan dinginnya udara. Seiring meningginya matahari, kabut tebal datang disertai angin sepoi-sepoi, membuat tubuh kembali menggigil. Untungnya, pagi itu cuaca cukup cerah. Sehingga kami bisa bebas menikmati keindahan salah satu fenomena alam yang paling indah yang pernah saya saksikan. Setelah puas, kami menuruni gunung sikunir untuk kembali ke tempat parkir dalam suasana berkabut yang sangat tebal. Sesampainya di bawah, kami disambut oleh penjaja makanan khas Dieng yang bernama sagon. Sagon ini berbentuk bundar, terbuat dari campuran tepung ketan, kelapa, dan gula pasir yang dipanggang di perapian sederhana. Rasanya yang manis cukup untuk mengganti tenaga yang berkurang setelah menyusuri Gunung Sikunir.
Telaga Merdada
Karena ternyata mobil yang dibawa oleh kawan seperjalanan masih muat untuk 2 orang, maka motor yang kami bawa akhirnya kami tinggal di penginapan dan kami pun bergabung semobil dengan mereka. Perjalanan kami lanjutkan ke Telaga Merdada. Telaga Merdada ini adalah telaga terbesar yang ada di Dataran Tinggi Dieng. Kesan pertama saya, dibandingkan dengan Telaga Warna, Telaga Merdada ini tidaklah lebih indah. Yang menarik dari telaga ini adalah adanya para nelayan yang mencari ikan di tengah telaga dengan menggunakan perahu kayu sederhana. Selain dikelilingi oleh perbukitan, telaga ini juga dikelilingi oleh lahan garapan para petani yang mayoritas ditanami kentang. Kalau diperhatikan dengan seksama, secara geografis telaga ini mirip sekali dengan kawah gunung. Tidak heran, menurut penelitian arkeologi, dataran tinggi Dieng memang bekas gunung berapi di zaman purba. Tak lama, kami pun beranjak dari sana menuju ke tempat lain.
Pemandian Air Panas Pulosari
Perjalanan kami lanjutkan ke tempat pemandian air panas Pulosari. Letaknya di pinggir sungai kecil berbatu yang sejak jaman Belanda sudah menjadi perbatasan antara Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Sebenarnya ada jalan tanah yang cukup lebar yang bisa kami lewati untuk sampai tepat di pinggir sungai dan tinggal jalan sebentar untuk sampai di pemandian air panas tersebut. Namun karena jalan tersebut ditutup oleh warga (mobil tidak boleh lewat), akhirnya kami parkir di pinggir jalan besar. Alhasil kami harus jalan kaki menyusuri jalan tanah untuk sampai ke pinggir sungai kecil lalu kemudian menuju ke pemandian air panas. Jalan kaki selama kurang lebih 25 menit itu cukup saya nikmati. Selama jalan kaki, saya bisa melihat tanah pertanian masyarakat Dieng yang ditanami mayoritas kentang, kol, dan cabai gondol (atau sebutannya cabai dieng, cabai berbentuk bulat menyerupai paprika ukuran kecil).
Pemandian air panas ini oleh masyarakat sekitar digunakan sebagai pemandian umum. Hal yang unik disini adalah airnya berwarna putih susu. Mungkin selain kandungan belerang juga ada kandungan kapurnya. Air panas langsung dari sumbernya dialirkan ke kolam kecil berukuran kira-kira 3×4 m dan dicampur dengan air dingin, jadilah air hangat yang nikmat untuk mandi atau sekedar merendam kaki. Tempatnya cukup indah menurutku. Tapi ada kekurangan yang sangat mengganggu saya. Banyak sekali sampah bungkus sabun dan shampoo yang berserakan di sekitar kolam. Tampaknya para pengunjung dan masyarakat sekitar masih belum sadar tentang kebersihan. Sedih melihatnya.
Sumur Jalatunda
Setelah sarapan di sebuah pasar tradisional, tujuan kami selanjutnya adalah Sumur Jalatunda yang konon merupakan sumur terbesar di dunia. Sumur ini bukan buatan manusia. Sumur ini berasal dari sebuah kawah mati ribuan tahun lalu yang kemudian terisi air sehingga membentuk sumur raksasa dengan diameter sekitar 90 meter dengan kedalaman yang belum bisa dipastikan.
Ada beberapa mitos yang berkembang di masyarakat mengenai sumur ini. Mitosnya, kalau bisa melempar batu ke sumur dan berhasil mengenai dinding sumur di seberang, sebuah permintaan si pelempar akan terkabul. Atau kalau tidak berhasil mengenai dinding sumur tetapi selama 3 kali berturut-turut hasil lemparannya berada di tempat yang sama juga akan dikabulkan permintaannya. Dan kami pun iseng mencoba. Ada seorang penjaga yang menyediakan batu lempar seharga Rp. 1000 untuk sekali lempar. Susah memang ternyata melempar batu sampai ke seberang. Untuk menuju sumur ini, ada tangga semen yang harus dilewati. Dan mitosnya tiap orang yang naik atau turun tidak akan sama dalam menghitung jumlah anak tangganya. Dan itu terbukti pada kami. Saya menghitung ada 89 anak tangga, sedangkan kawan-kawan lain ada yang 91,92,87, dan banyak lagi. Percaya gak percaya, dari 7 orang gak ada yang sama hasil hitungnya!
Kawah Sileri
Dalam perjalanan menuju Kawah Sileri, sebenarnya kami melewati juga gerbang masuk ke Kawah Candradimuka. Tetapi karena akses jalannya rusak parah, kami urungkan untuk berkunjung kesana dan langsung menuju ke kawah Sileri. Kawah yang terletak di tengah-tengah perkebunan milik penduduk ini merupakan kawah terluas di Dataran Tinggi Dieng. Kawah yang masih aktif ini terakhir kali meletus pada September 2009 dengan ketinggian semburan tidak terukur dan lemparan material sejauh 200m. Tanpa pagar pembatas seperti kawah Sikidang, memang kesannya kawah ini tidak berbahaya. Namun bau belerang yang kuat dan asap pekat yang terus menerus keluar dari kawah menghilangkan kesan tidak berbahaya itu.
Air Terjun Sirawe
Kalau bisa saya bilang, air terjun Sirawe ini adalah best of the best dari semua objek wisata di Dieng yang saya kunjungi. Tidak banyak wisatawan yang mengunjungi air terjun ini. Hal itu dikarenakan medan yang sangat susah untuk mencapainya. Dan disini benar-benar “berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian” kami praktekkan. Lokasinya tidak jauh dari kawah Sileri. Karena jalan raya yang berbatu dan susah untuk dilewati mobil mengharuskan kami parkir cukup jauh. Disini kami berpisah dengan para perempuan di rombongan kami. Para perempuan memutuskan untuk menunggu di mobil tidak ikut ke air terjun (dan nampaknya memang keputusan yang sangat tepat). Perjalanan pergi pulang ke dan dari air terjun Sirawe diestimasikan 2 jam. Kami berempat menyusuri jalan raya berbatu menanjak yang kemudian masuk ke jalan desa yang sudah disemen yang sangat curam.
Hujan mulai turun ketika kami sampai di depan rumah guide lokal kami, seorang anak kecil kelas 5 SD bernama Ilham, di Desa Kepakisan, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Hujan tak menyurutkan semangat kami untuk menjemput keindahan air terjun Sirawe di tengah hutan. Sangat beruntung bagi saya yang membawa jas hujan tidak terganggu dengan turunnya hujan, paling tidak badan dan pakaian saya tidak basah. Namun hujan tetap mengganggu. Karena hujan, jalanan yang harus kami lewati sangat licin. Jalan sempit dan curam selebar kurang lebih 50cm harus kami lalui dengan medan perkebunan Carica (buah yang mirip dengan pepaya), ilalang-ilalang tinggi, dan pepohonan liar.
Bagian paling menyeramkan adalah ketika kami harus turun ke lereng bukit terjal dan licin dengan kemiringan lebih dari 45 derajat untuk bisa mencapai air terjun tersebut. Namun ketika sampai di bawah dan sangat dekat dengan air terjun saya sangat puas. Indah sekali. Air terjun setinggi kurang lebih 70m dengan aliran sungai berbatu dibawahnya serta dikelilingi oleh hijaunya hutan yang tergolong masih perawan membuat saya tidak henti berdecak kagum. Kami tidak lama menikmati keindahan air terjun ini, bisa dibilang sangat singkat malah. Karena alasan waktu kami tidak bisa lama-lama disana.
Perjalanan kembali ternyata lebih berat daripada perjalanan berangkat. Yang paling berat tentunya menaiki lereng bukit berbatu, bertanah liat, terjal dan licin dengan kemiringan ekstrim tersebut. Butuh waktu yang lama bagi saya untuk menaikinya. Saya sangat berhati-hati dalam melangkah. Setiap melangkah selalu memastikan bahwa tempat pijakan kaki saya kuat. Bahkan beberapa kali sempat hampir jatuh. Selama perjalanan menaiki lereng setinggi kurang lebih 30 meter itu saya terus ber-dzikir. Yang bikin heran ya, Ilham nampak tidak kesulitan sama sekali selama perjalanan tersebut. Benar-benar pengalaman yang sangat menegangkan dan menyenangkan bagi saya.
Dalam perjalanan kembali ke penginapan, saya kembali mengunjungi Telaga Warna, karena ternyata kawan-kawan seperjalanan belum mengunjungi Telaga Warna hari sebelumnya. Dan akhirnya sekitar pukul 4 sore kami sampai di penginapan. Setelah makan dan check out, tanpa membersihkan badan, saya dan Indra melanjutkan perjalanan kami balik ke Semarang. Banyak dapat pengalaman juga dalam perjalanan menuju Semarang. Sebelum mencapai Parakan, kota kecil dekat Temanggung, kami dihadang kabut sangat tebal. Ini pertama kalinya kami naik motor malam-malam dengan jarak pandang kurang dari 3 meter. Belum lagi ternyata kami harus melewati rute yang berbeda dengan ketika kami berangkat hari sebelumnya. Dengan mengikuti arah jalan yang dipasang oleh Dishub/DLLAJ, tiap ada tanda panah “Semarang” kami ikuti, ternyata kami diharuskan melewati hutan dan jalan gelap menanjak dan menurun dengan rute Temanggung-Sumowono-Bandungan-Semarang. Memang sih jalannya lebih singkat daripada yang kami tempuh waktu berangkat, tapi kan serem juga malam-malam jalanan tengah hutan yang belum kami kenal.
Yah, bagi saya, perjalanan ke Dieng kemarin bener-bener sesuatu banget deh. Banyak pengalaman baru dan kawan baru juga. Makasih buat kawan perjalanan saya: Indra, Mas Wahyu, Mbak Yanti, Dyna, Rizka, dan Ajeng. Kapan-kapan kita jalan bareng lagi yok! Hehehe..
enak ya klo bawa motor sendiri bisa puas keliling2nya
hiks. kmrin cm make kaki ma angkot pas ke dieng
SukaSuka
Iya mas, lebih enak naik motor. Tapi ya itu harus tahan sama dingin.
SukaSuka
eh, aku ada tulisan tentang sunrise di Sikunir juga di http://kisahhantulaut.blogspot.com/2012/01/mengejar-matahari-terbit.html. Happy reading 😉
SukaSuka