Visit Banda Aceh Year 2011 Flashback: Aceh International Folklore Festival


Minggu, 24 Juli 2011

Alunan musik riang mengiringi delapan pasang pemuda pemudi asal negeri spageti menari dengan lincah. Sesekali seruan kompak dan teriakan melengking dari penari wanita terdengar. Para penari wanita itu membawa keranjang yang berisi bunga yang disangkutkan di lengan dekat siku. Sajian tarian dengan gerakan kaki cepat mirip tap dance mereka peragakan. Senyum merekah menghiasi wajah mereka sepanjang tarian. Keintiman dan chemistry yang kuat terlihat saat penari wanita bergandengan tangan dengan penari pria sembari membuat gerakan berputar di panggung.  Gerakan itu bertransformasi menjadi mengular seperti rangkaian rantai. Sambil melambaikan saputangan, mereka mengakhiri pertunjukan sore itu. Penonton pun bersorak gembira melihat atraksi tarian rakyat dari Italia itu. Tak terkecuali saya.

Beruntung saya berada di barisan depan penonton yang berada di Taman Putroe Phang, Banda Aceh. Sore itu adalah hari kedua event Aceh International Folklore Festival 2011 (AIFF) yang dilaksanakan dalam rangka Visit Banda Aceh Year 2011. Karena saya tidak sempat mengikuti acara pembukaan di hari pertama, maka sore itu saya sempatkan datang lebih awal ke Taman Putroe Phang khusus untuk melihat penampilan para penari folklore dari beberapa negara peserta.

Penari Italia

Whirling Dervishes from Turkey

Usai penari dari Italia tampil, penari dari Turki tampil. Mungkin bukan penari lebih tepatnya, tapi Whirling Dervishes. Para penganut sufi yang sering disebut darwis menari dengan gerakan memutar tubuh secara konstan dari awal sampai akhir pertunjukan. Nyanyian pengiringnya berbahasa Arab yang berisi doa dan pujian kepada Sang Maha Kuasa. Bermula pada abad ke-13, seorang filsuf bernama Mevlana Rumi C berjasa memperkaya kebudayaan Turki dengan literatur, seni, dan tarian bernuansa sufi. Whirling Dervishes ini salah satunya. Saya hanyut dalam pertunjukan. Bukan hanya sekedar pengalaman menikmati suguhan tarian yang diakui UNESCO sebagai warisan dunia takbenda yang saya dapat, tapi juga ikut mengenal filosofi kedamaian yang dipertontonkan oleh para darwis.

Penari Polandia

Suasana sufi berganti ceria ketika penari dari Malaysia membawakan tarian kontemporer diiringi lagu bernuansa melayu medley dengan lagu Malaysia Truly Asia yang sering saya dengar di TV. Dalam beberapa gerakan, tarian Malaysia sangat mirip dengan tarian Indonesia. Tak heran memang, karena dua negara ini masih sama-sama rumpun Melayu.

Puncak acara sore itu adalah ketika peserta dari Polandia tampil. Berbeda dengan peserta dari negara lain, Polandia menampilkan seorang penyanyi wanita menyanyi lagu berbahasa Polski diiringi dengan pemain alat musik akordeon dan biola. Setelah itu, baru mereka mempertunjukkan tarian rakyat milik mereka.

Senin, 25 Juli 2011

Usai ashar, saya tergesa menggeber gas motor saya menuju kawasan pantai Ulee Lheue. Walaupun belum waktu pulang kantor, saya tidak ingin ketinggalan gelaran AIFF yang sore itu diadakan di Ulee Lheue. Beruntung sore itu memang sedang tidak banyak kerjaan.

“…Chal Chaiyya Chaiyya Chaiyya Chaiyya.. Chal Chaiyya Chaiyya Chaiyya Chaiyya…”. Lagu Chaiyya Chaiyya berkumandang. Bukan Briptu Norman atau Shakhrukh Khan yang sedang bernyanyi. Sekelompok pria berwajah khas India memainkan musik. Seorang penyanyi membawakan lagu Chaiyya Chaiyya. Walaupun mereka berwajah khas India, tapi mereka adalah peserta dari Pakistan. Namun, saya harus mengakui penampilan mereka kalah jauh apabila dibandingkan dengan penampilan Briptu Norman dalam membawakan lagu ini.

Chaiyya Chaiyya dari Pakistan

Penari Lithuania

Saya selalu kagum dengan tarian rakyat yang berasal dari Eropa. Setelah hari sebelumnya saya dihibur dengan tarian dari Italia dan Polandia, sore itu saya kembali terbius oleh penampilan penari Lithuania. Tarian yang mereka bawakan lebih anggun dibanding negara lain. Sambil membawa kain yang menyerupai syal panjang mereka beratraksi. Masih tetap dengan gerakan anggun, mereka saling melilitkan kain itu. Uniknya, kain-kain itu tidak mbulet ataupun kusut.

Dari semua penampilan yang saya saksikan, yang paling unik adalah penampilan peserta dari Estonia. Alih-alih menari, mereka mempertunjukkan sesuatu yang mirip permainan rakyat. Beberapa peserta wanita berkicau layaknya burung secara bergantian. Dua peserta pria yang berbadan besar menyaru menjadi burung yang sedang bertarung. Sambil mengepak-ngepakkan jubah panjang yang mereka pakai, mereka bertabrakan badan. Di pertunjukan selanjutnya, menggunakan alat sebilah kayu, mereka melakukan permainan lain.  Kayu dipegang oleh dua peserta berhadapan, dan keduanya bergantian melompati kayu itu. Uniknya lagi, para peserta dari Estonia ini tergolong usia setengah baya. Sontak, penonton pun terpingkal melihat tingkah mereka.

Estonia Folklore

Penari Kanada

Para penari muda asal Kanada mulai bersiap tampil. “Why are you so tall?”, kata MC bertanya kepada seorang peserta. “Because I eat McDonald”, jawab pria tinggi itu berkelakar sebelum naik pentas. Penonton pun tergelak lagi. Tarian enerjik pun mereka tampilkan. Di beberapa bagian tari saya merasakan sedikit kemiripan dengan tarian Polandia. Di beberapa bagian tarian lain mirip dengan kegiatan baris-berbaris tentara kerajaan.

Last but not least, penampilan dari sang tuan rumah, Indonesia, yang diwakili oleh Aceh. Sembilan pria berpakaian khas Aceh yang berwarna dominan hitam, kuning, dan merah, memegang alat musik rapai. Sambil melantunkan shalawat dan pujian kepada Sang Khalik dalam bahasa Aceh dan sedikit bahasa Arab, mereka menari dengan sangat harmonis. Gerakan yang tadinya halus menjelma menjadi gerakan super cepat yang susah untuk diikuti mata. Geleng kanan, geleng kiri, menunduk, mendongak, semua gerakan mereka lakukan dengan sangat indah dan tanpa cela. Setiap melihat pertunjukan tarian super cepat asli Aceh seperti Tari Saman atau Rapai Geleng seperti ini selalu saya merasakan sensasi merinding. Pantaslah tarian yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan yang luhur ini mendapatkan pujian pada gelaran International Folklore Festival tahun sebelumnya di Turki.

Rapai Geleng

Selasa, 26 Juli 2011

Karena saya melewatkan pembukaan acara AIFF 2011 beberapa hari sebelumnya, malam itu saya menyempatkan diri untuk datang ke Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh untuk hadir di acara penutupan AIFF 2011. Cukup nyaman sebenarnya saya mendapatkan tempat duduk di depan sehingga dapat menikmati pertunjukan dengan jelas. Namun angin kencang dan sedikit gerimis membuat saya meninggalkan tempat sebelum acara usai. Saya hanya sempat melihat penampilan Srilanka, Estonia, Lithuania, serta penampilan apik beberapa peserta wanita dari Lithuania dan Polandia menari Saman.

Dalam rangkaian program Visit Banda Aceh sepanjang tahun 2011, acara yang paling saya sukai adalah AIFF yang diselenggarakan 23-26 Juli 2011 ini. Festival ini diikuti 10 negara, yaitu Turki, Polandia, Italia, Pakistan, Kanada, Malaysia, Lithuania, Estonia, Indonesia, dan Srilanka. Kabarnya ada perwakilan dari Afrika Selatan dan Korea Selatan juga, namun sampai akhir pagelaran saya tidak pernah melihat mereka tampil. Kapan lagi coba bisa melihat kesenian rakyat dari negara-negara itu dalam satu paket? Tidak mungkin kan acara seperti ini diadakan setiap tahun di Aceh? Lucky me! Setahu saya memang International Folklore Festival diadakan di negara berbeda setiap tahunnya.

Tampaknya acara ini sukses besar. Semangat mempersatukan negara-negara di dunia melalui seni dan budaya sangat tercermin di sini. Semoga dampak positif acara ini juga bisa menular ke masyarakat Banda Aceh pada khususnya, yaitu semakin cinta dan bangga dengan budaya sendiri. Saya pernah membaca sebuah pepatah Aceh yang saya tidak tahu bagaimana bunyi aslinya dalam Bahasa Aceh, “There is a grave for a dead son. But for dead culture will gone forever”. Intinya, apabila sebuah budaya mati, dan tidak ada yang melestarikan, budaya itu akan hilang selamanya. Pasti kita tidak mau  kehilangan kebudayaan kan?

Video penampilan penari dari Lithuania yang saya buat saat penutupan menggunakan kamera saku:

Beberapa video lain bisa dilihat di sini dan sini