Honeymoon Trip: Sawahlunto


Banyak momen yang terjadi dalam hidup saya selama setahun ini. Mulai dari saya yang pindah domisili dan tempat kerja dari Banda Aceh ke Tangerang Selatan, istri saya yang dulu sempat keguguran sekarang hamil lagi dan alhamdulillah sudah memasuki trimester ketiga, ulang tahun pernikahan kami yang pertama, sampai momen kesibukan sehari-hari kami menghabiskan waktu berdua saja setelah dulu menjadi pelaku Long Distance Marriage. Momen-momen yang ternyata sangat mengurangi aktivitas saya di dunia blog. Setahun belakangan, dunia pun sepertinya heboh ya. Mulai dari drama pemilihan presiden Indonesia, 2 pesawat Malaysia Airlines yang hilang entah di mana dan jatuh di Ukraina, ada kelompok ISIS, sampai yang terbaru heboh tentang RUU Pilkada yang akhirnya disahkan dan mendapat reaksi keras di media sosial. Well, lupakan semua itu. Saya mau cerita saja pengalaman bulan madu saya dan istri yang belum selesai saya ceritakan di blog ini. Bulan madu yang kami lakukan sekitar setahun lalu…

***

Tidur nyenyak kami (saya dan istri), yang penuh perjuangan sebelumnya -sering terlempar dari kursi bis karena jalanan berlubang plus duduk di bagian area yang sangat tidak nyaman- harus berakhir saat kondektur bis Family Raya membangunkan kami. “Muaro Kalaban turun di sini”, kata sang kondektur. Saya melirik jam tangan, masih pukul 04.00 pagi. Dalam gelap dini hari, kami turun di pertigaan menuju kota Sawahlunto. Ya, destinasi kami selanjutnya setelah 2 hari menyambangi Jambi adalah Sawahlunto. Sambil menunggu subuh dan matahari terbit, kami menunggu di sebuah warung kopi. Segelas kopi panas dan semangkuk mie instan rebus menghangatkan tubuh kami pagi itu.

Pagi di Sawahlunto

Pagi di Sawahlunto

Usai menunaikan shalat subuh di sebuah ruangan mushala sempit di dekat warung mie, kami mencari ojek. Sempat diwarnai tawar menawar yang alot antara tukang ojek dan istri saya, disepakatilah harga 10 ribu rupiah untuk 1 ojek yang kami pakai boncengan bertiga. Yah, walaupun saya agak capek ya duduk paling belakang tanpa pijakan kaki, tapi worth it lah ngojek harga murah untuk sekitar 6 km perjalanan. Melewati rute Muaro Kalaban – Sawahlunto pada dini hari ternyata sedikit mendebarkan. Jalanan berkelok dan naik turun, minim penerangan, serta suasana yang sepi agak menciutkan hati kami. Tapi kondisi hati kami berubah gembira begitu sampai di kota Sawahlunto.

Karena masih sepi, kami duduk di sebuah lapangan bola dekat pusat kota sambil menunggu pagi. Beberapa orang tampak berolah raga pagi. Kami pun tak ketinggalan, sekedar meregangkan badan yang kebanyakan duduk dalam perjalanan naik bis semalam, kami berjalan kaki kecil mengelilingi lapangan. Udara pagi di Sawahlunto terasa melegakan paru, sangat segar. Saat matahari mulai mengintip malu di balik perbukitan, baru kami sadar bahwa Sawahlunto ini dikelilingi bukit yang masih asri. Pantas saja hawanya adem.

Danau di Kandi Resort

Danau di Kandi Resort

Di depan Gedung PT. BA

Di depan Gedung PT. BA

Begitu hari sudah benderang, kami menuju salah satu hotel heritage terkenal di Sawahlunto, Hotel Ombilin, untuk memesan kamar. Kejutan datang dari manajemen hotel ombilin. Bukan, bukan karena kami sedang berbulan madu diberikan kamar terbaik yang mereka punya. Tapi kami diberi kamar yang kasurnya twin. Padahal sebelum check in kami tunjukkan buku nikah kami. Setelah kami protes, kamar kami diganti dengan kamar double bed. Walaupun kami dapat kamar yang saluran air kamar mandinya agak tersumbat, tapi cukup menyenangkan sih tinggal di hotel yang dibangun pada tahun 1918 dan pernah menjadi asrama tentara Belanda ini. Terutama bagi yang suka wisata sejarah seperti kami.

Setelah sarapan bubur ayam yang mangkal di depan Hotel Ombilin dan ternyata enak banget, saatnya kami menjelajah Sawahlunto dan sekitarnya dengan mengendarai motor yang sudah kami sewa sebelumnya. Karena masih pagi, kami memutuskan untuk menjelajah luar kota. Tanpa itinerary yang jelas, kami terdampar di Taman Satwa yang terletak di Resort Wisata Kandi. Berkunjung ke kebun binatang ini cukup membuat istri saya sumringah melihat primata-primata langka. Maklum saja, dulu istri memang bekerja di konservasi hewan.

Museum Gudang Ransum

Museum Gudang Ransum

Bosan berkeliling kebun binatang, kami kembali ke kota. Bagi kami Sawahlunto memang istimewa. Kota ini sudah lama menjadi bucket list saya. Kota yang lekat dengan sejarah kolonial dan pertambangan batu bara ini menyimpan pesona di setiap sudutnya. Bangunan-bangunan bersejarah tersebar di penjuru kota. Jalanan yang relatif sepi dan hawa sejuk pun membuat kami seketika jatuh cinta. Kantor PT. Bukit Asam salah satunya. Cukup lama kami duduk dan mengunyah jajanan ringan di taman semacam alun-alun kecil di depan gedung kantor pertambangan yang dulunya bernama “Ombilin Meinen” itu.

Kejadian tak terduga dan agak horror kami rasakan di Lubang Mbah Soero, sebuah objek wisata sejarah berupa lubang tambang batu bara. Berbekal perlengkapan helm dan sepatu boot, kami digiring oleh seorang guide menuju ke dalam lubang tambang yang berada di dalam tanah. Tentu saja kami bersemangat mendengar penjelasan sejarah lubang tambang itu. Alih-alih meneruskan tentang sejarah tambang, guide kami malah bercerita tentang hal-hal mistis di sana. Dari yang pernah dipakai untuk uji nyali di reality show beberapa stasiun TV sampai hal mistis yang dialami para wisatawan lain. Lubang Mbah Soero tampak seperti lorong-lorong labirin dengan banyak pintu. Tepat di depan lorong yang memang ditutup terali besi dan tidak dibuka untuk umum tangan istri saya mencengkeram lengan saya sangat erat. Saya sih merasa biasa saja. Tapi saya tahu ada yang salah dengan istri saya.

Sesampai di luar, nafas istri terengah seperti kehilangan banyak sekali tenaga. Padahal tak lebih dari setengah jam kami berada di dalam lubang itu. Saya ingat benar saat itu adzan dzuhur berkumandang. Kami masih berada di sekitar area Lubang Mbah Soero, duduk di sebuah warung, menenggak es teh. Istri saya masih dengan wajah syok bercerita bahwa di dalam lubang tambang itu dia melihat tangan-tangan banyak sekali tanpa jelas anggota tubuh lainnya berebutan memegang terali besi. Semacam ingin memberontak keluar. Mendadak saya merinding dan membayangkan korban-korban manusia yang menjadi orang rantai (para penambang yang dirantai oleh penjajah Belanda) di lubang tersebut ratusan tahun lalu.

Pintu masuk Lubang Mbah Soero

Pintu masuk Lubang Mbah Soero

Perjalanan sempat kami lanjutkan ke Museum Gudang Ransum, tempat yang dahulu adalah dapur umum sebagai pemasok makanan bagi para penambang. Tidak terlalu lama kami di sana karena istri masih syok. Kembalilah kami ke hotel. Rupanya kejadian di Lubang Mbah Soero sangat memperngaruhi kondisi kejiwaan istri saya. Tepat usai kami shalat berjamaah, istri saya pingsan. Saya panik. Belum ada sebulan kami menjadi suami istri dan baru sekali ini traveling bareng berdua saja, eh.. sudah ada kejadian seperti ini. Istri saya baringkan di kasur, saya coba bangunkan dengan tepukan keras di wajah, saya panggil namanya kencang, doa-doa dan ayat-ayat Al Qur’an mulai saya lantunkan sebisanya, bahkan sampai saya googling bagaimana cara membangunkan orang pingsan, tak ada yang berhasil. Istri saya tetap bergeming terbaring di kasur. Saya mencoba tenang dan menunggu. Jika sampai menjelang maghrib istri saya masih belum sadar, saya akan memanggil dokter.  Alhamdulillah setelah pingsan (atau tertidur?) selama sekitar 3 jam istri sadarkan diri. “Sesuk moh ning lubang mbah suro meneh yo mas”, itu kalimat pertamanya saat bangun. Lega sekali mendengarnya.

Lubang Mbah Soero

Lubang Mbah Soero

Praktis siang sampai sore di hari terakhir Agustus tahun lalu itu kami habiskan di kamar hotel saja. Sempat terpikir untuk tidak melanjutkan rencana kami berbulan madu ke kota-kota selanjutnya, tapi melihat kondisi istri yang sudah membaik rencana tetap kami lanjutkan. Malam harinya, kami menghabiskan malam menikmati sajian kreativitas seni masyarakat Sawahlunto di depan Gedung Pusat Kebudayaan yang hanya sepelemparan kolor dari hotel kami dan menonton film di 4D Theatre. Senyum istri mulai terkembang dan senandung kecil mulai muncul dari mulutnya mengikuti lagu-lagu yang dinyanyikan oleh seniman jalanan itu. Itulah saat saya merasakan sangat lega dan merasakan sayang yang makin bertambah kepada istri.

Sawahlunto, 31 Agustus 2013

Pentas seni di depan Gedung Pusat Kebudayaan

Pentas seni di depan Gedung Pusat Kebudayaan

Gono-gini Day 3:

Ojek Muaro Kalaban – Sawahlunto 10 K
Hotel Ombilin + breakfast next day 310 K
breakfast Bubur ayam depan hotel ombilin + sate ati 2 , kroket 2 24 K
Sewa Motor plus bensin 2 liter 85 K
Taman satwa kandi @ 7 K (Jajan) 14 K
Aqua2 , es nutrisari , es milo , gorengan 13K
Lubang Mbah Suro @ 8 K 16 K
Museum Gudang Ransoem @ 4 K 8 K
Souvenir ( kartu pos, buku) 30 K
Dinner martabak mesir 14 K, Sate Padang 12 K 26 K
4D Movie @ 20 K 40 K
Sosis & nugget 3pcs 3 K
Total 579 K