Banda Aceh – Meulaboh, Sekeping Kenangan Road Trip Bersamanya
“Bagaimana kalau di hari-hari terakhir di Aceh, kita sempatkan ke Meulaboh? Naik motor boncengan berdua. Berangkat pagi pulang paginya lagi”, saya mengajukan usul pada istri saya. Ya, saya ingin mendapatkan kesan terakhir tinggal di Aceh dengan melakukan perjalanan yang tidak biasa, bersama istri. 10 tahun lalu saat saya pertama kali datang ke Banda Aceh saya memiliki cita-cita untuk traveling keliling Aceh. Namun, sampai saat hampir pergi meninggalkan Aceh, keinginan itu jauh dari kata terwujud. Maka, sebagai perpisahan dengan Aceh, saya mengajak istri bermotor-ria mengunjungi kota yang berada di pantai barat Aceh dan berjarak 245 km dari Banda Aceh yang bernama Meulaboh.
Usul saya disambut sumringah oleh istri. Padahal awalnya saya sangsi istri bakal mau diajak berkendara motor jarak jauh. Mungkin karena saat itu kami masih terhitung pengantin baru dan setelah sekian lama menjalani hubungan Long Distance Marriage akhirnya berkumpul, makanya istri mau saja saya ajak melakukan perjalanan yang bisa dibilang bikin capek dan sangat jauh dari kata nyaman. Apalagi kami baru saja kehilangan calon bayi di usia kandungan istri yang masih sangat muda. Tentu melakukan perjalanan berdua kembali kali ini terasa sangat spesial dan exciting.
Ada apa sih di Meulaboh sampai kami ingin sekali ke sana? Mungkin tidak banyak objek wisata yang bisa kami kunjungi di sana. Sebagai penikmat wisata sejarah, di Meulaboh kami hanya ingin berkunjung ke makam Teuku Umar, seorang pahlawan nasional asal Aceh yang juga adalah suami dari Cut Nyak Dien. Namun, keinginan utama kami adalah ingin menyusuri jalan Banda Aceh – Meulaboh yang terkenal dengan pemandangan alamnya yang memanjakan mata.
Hari itu, suatu hari di bulan Februari 2014, tepat dua minggu sebelum meninggalkan Aceh dan memulai hidup baru di Jakarta, kami mengeksekusi rencana touring Banda Aceh – Meulaboh – Banda Aceh selama 2 hari 1 malam. Ini akan menjadi tugas terakhir motor bebek berwarna kuning milik saya yang hampir setiap akhir pekan selama 5 tahun tinggal di Aceh, saya ajak melewati jalan mulus maupun off road di sekitaran Banda Aceh, Sabang, dan Kabupaten Aceh Besar. Walaupun kondisi motor belum sempat diservis sejak kami pakai sehari sebelumnya berkeliling kota Sabang, namun kami tetap percaya diri menaikinya, tanpa khawatir terjadi sesuatu dengan motor itu, misalnya bocor ban. Jika terjadi sesuatu dan worst case-nya tidak bisa melanjutkan perjalanan ya kami kembali ke Banda Aceh naik L300, tipe mobil angkutan umum antar kota dalam provinsi di Aceh. Motornya? Kami naikkan juga ke mobil L300 itu. Sepertinya sih muat.
Tepat usai subuh kami berangkat dari Banda Aceh dengan hanya berbekal 1 buah ransel. Cuaca pagi itu cerah dan berhawa sejuk, cenderung dingin malah. Kami melewatkan sarapan pagi. Rencananya, kami akan mencari sarapan di sepanjang perjalanan. Dari Banda Aceh menuju Meulaboh, kami melewati wilayah Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Jaya, dan Kabupaten Aceh Barat. Di sepanjang jalur inilah lebih satu dekade lalu gelombang tsunami menghancurkan apa saja yang dilewatinya. Berada di dekat pusat gempa, pantas saja wilayah pantai barat Aceh ini menjadi salah satu yang terparah akibat terjangan tsunami.
Saya selalu kagum dengan keindahan alam Aceh, tak terkecuali yang kami saksikan sepanjang perjalanan. Tak berlebihan rasanya jika saya katakan bahwa jalur pantai barat Aceh ini memiliki jalan dan pemandangan alam kelas dunia. Jalanan lebar layaknya jalan tol sepanjang 145 km menghubungkan antara Banda Aceh dan Calang, ibukota Kabupaten Aceh Jaya, ini diapit pemandangan perbukitan hijau di sebelah kiri dan pantai landai berpasir putih di sebelah kanan. Tak ayal, kami banyak berhenti untuk sekedar melemaskan otot dan menikmati panorama elok tersebut. Mulai dari lanskap matahari pagi yang malu-malu memunculkan sinarnya dari balik perbukitan, perbukitan yang dibelah oleh jalan raya, sampai pemandangan di Puncak Geurute, sebuah view point di puncak bukit yang menawarkan lanskap laut dan pulau tak berpenghuni, tak terlewatkan dari lensa kamera kami.
Walaupun jalannya lebar dan mulus, bukan berarti tidak ada hambatan di sana. Jika di ibukota jalanan terhambat macet karena volume kendaraan yang berlimpah, di jalur ini penyebab macet bukanlah kendaraan, tetapi hewan ternak. Tidak jarang saya harus menginjak rem dalam-dalam karena segerombolan sapi terlihat asyik bersantai di tengah jalan raya. Ya, sapi-sapi ternak di Aceh memang dilepaskan begitu saja oleh pemiliknya. Bukan hanya membahayakan nyawa pengemudi, resiko mengganti rugi pun bisa dihadapi pengendara jika menabrak sapi itu sampai mati.

Sapi menguasai jalan raya
Satu jam sudah berlalu dan perut kami sudah keroncongan minta diisi. Tidak seperti di jalur pantura Jawa yang padat penduduk, walaupun pemandangannya indah, mencari warung makan di jalur pantai barat Aceh ini susahnya bukan main. Kami mengira warung-warung di Puncak Geurute sudah buka, ternyata kami terlalu pagi. Warung yang berderet-deret menghadap laut itu tak satupun yang buka. Melanjutkan perjalanan, akhirnya kami menemukan sebuah warung makan khas Aceh di wilayah Kabupaten Aceh Jaya yang terlihat baru buka. Masakan khas Aceh kegemaran saya, Eungkot asam keueng yang masih panas, terhidang di meja dan langsung kami santap bersama sepiring penuh nasi dan sebutir telur asin. Untung saja istri saya berjiwa petualang juga seperti saya. Tak terlihat sedikitpun raut capek di wajahnya. Yang ada, senyum semakin lebar usai menikmati late breakfast kami.
Saat perut kami sudah kenyang, giliran motor kami yang kelaparan. Jarum penunjuk bahan bakar di motor hampir menunjuk huruf E. Namun, layaknya mencari warung makan, mencari SPBU pun sama sulitnya di jalur pantai barat ini. Terhitung sepanjang perjalanan sekitar 100 km yang sudah kami tempuh seingat saya hanya ada 2 SPBU yang kami lewati. Untung saja, memasuki kota Calang, terdapat SPBU ketiga yang kami temui.
Meninggalkan kota Calang, jalan raya lebar dan pemandangan molek yang kami lewati berubah cukup drastis. Terlihat kontras antara jalan Banda Aceh – Calang yang dibangun dari dana bantuan USAID dengan jalan Calang – Meulaboh yang dibangun dari dana APBN, APBD, dan Bank Dunia itu. Dari sini, perjalanan yang tadinya menyenangkan menjadi sangat membosankan. Walaupun kualitas jalan rayanya tidak parah, tapi di beberapa titik memaksa saya untuk menghindari lubang-lubang yang cukup lebar.
“Mas, ini kita udah masuk wilayah Aceh Barat. Aku lupa gak bawa rok. Gimana ini aku pakai celana jeans?”, mendadak istri saya mengagetkan saya yang masih mengemudi motor. Ah iya.. Kami lupa jika di Aceh Barat penerapan syariat islamnya lebih ketat. Masih sering ada penertiban pakaian yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah (Polisi Syariah) di sana. Jika ada razia, muslimah yang berpakaian ketat seperti celana jeans akan diberikan pengarahan sekaligus pakaian ganti berupa rok panjang. Bukannya kami tidak ingin mematuhi peraturan setempat, tapi pertimbangan perjalanan jauh naik motor membuat istri lebih nyaman memakai celana. Sempat terpikir tentang rok, namun sepanjang kunjungan kami di Meulaboh kami beruntung tidak bertemu dengan WH yang sedang menertibkan pakaian.
Pantat sudah terasa sangat panas dan badan pun terasa pegal saat menjelang siang kami memasuki kota Meulaboh. Banda Aceh – Meulaboh kami tempuh dalam waktu sekitar 5 jam. Saatnya kami mencari penginapan untuk beristirahat sejenak. Tidak banyak pilihan hotel di Meulaboh. Sambil berkeliling kota, kami memilih penginapan yang akan kami singgahi. Melihat sebuah hotel yang berpenampilan bersih dan bagus, kami mampir. Saya menunggu di parkiran, sedangkan istri menuju lobby untuk bertanya ketersediaan kamar. Tak lama, istri saya keluar lagi. Ternyata sambutan resepsionis hotel kurang bersahabat. Tatapan penuh curiga menelisik saat istri saya bilang ingin memesan kamar. Mungkinkah kami dikira pasangan non-muhrim yang mencari tempat menginap? Ah, kami tidak mau berprasangka lebih lanjut. Anggap saja si resepsionis itu sedang kurang enak badan. Padahal, saat kami traveling bersama selalu membawa buku nikah.
Kapok mencari-cari penginapan, akhirnya kami menuju salah satu hotel terbaik di kota ini. Di meja resepsionis, sambil memesan kamar istri saya langsung mengeluarkan buku nikah tanpa diminta. Alhamdulillah pelayanannya ramah. Namun di hotel ini untuk kamar yang double bed memiliki tarif yang hampir dua kali lipat dari kamar yang twin bed. Untungnya kami adalah pasangan yang fleksibel, tidak harus tidur berdua di kasur double bed. Demi menghemat biaya, kami memilih kamar twin bed. Toh, ini bukan pertama kalinya kami mendapatkan kamar twin bed. Bahkan beberapa waktu lalu saat backpacking honeymoon keliling Sumatera, dua kali kami terpaksa menggeser-geser twin bed untuk disatukan di dalam kamar. Walaupun beresiko sakit punggung akibat terkena pinggiran tempat tidur atau terperosok di bagian tengah, sejauh ini kami selalu baik-baik saja.
Belum pulih dari rasa capek, kami sudah meluncur menuju makam Teuku Umar yang terletak sekitar 35 km dari kota Meulaboh. Cuaca sangat terik saat itu. Celakanya, kami lupa membeli air minum dalam kemasan untuk bekal. Jangankan minimarket, mencari toko kelontong penjual air mineral cukup susah. Mungkin karena kami kurang mengenal daerah itu juga sih makanya jadi agak kebingungan. Untung saja akhirnya kami menemukan sebuah warung kelontong penjual minuman. Dahaga pun sirna.
Letak makam Teuku Umar adalah di desa Meugo Rayeuk. Berada di atas bukit dan dikelilingi perkebunan sawit, kompleks makam Pahlawan Nasional ini terlihat sunyi. Tidak sulit mencapai makam ini. Sepanjang perjalanan terdapat penunjuk arah yang jelas. Di pintu kompleks makam, terdapat sebuah papan peringatan yang tidak memperbolehkan wanita yang memakai celana untuk memasuki komplek. Terpaksa, demi menghormati peraturan adat, istri saya pun menunggu di luar komplek makam tanpa protes apa pun. Malah saya yang tidak tega meninggalkan dia sendiri di tempat asing yang sepi itu. Sehingga saya tidak berlama-lama berada di dalam komplek makam.
Saya tahu badan istri pasti rasanya remuk redam setelah menempuh perjalanan jauh itu. Lha wong saya saja yang mengendarai motor merasa badan sakit-sakit kok, apalagi istri yang membonceng di belakang. Namun, alih-alih beristirahat di hotel, sekembalinya kami di Meulaboh, kami malah duduk santai di pantai. Kami memilih nongkrong di Pantai Suak Ribee. Pantai ini terkenal dengan lanskap sunset-nya kala senja dan deretan kedai kopi yang menyediakan sajian khas Meulaboh, kopi terbalik. Minuman kopi yang biasanya disajikan dengan gelas terbuka, di sini disajikan menelungkup di atas cawan tatakan gelas dilengkapi dengan sebuah sedotan. Cara minumnya? Sedotan didekatkan ke mulut gelas kemudian ditiup. Kopi yang berada di dalam gelas perlahan meleleh keluar dan tertampung di cawan tatakan gelas. Saatnya kopi siap diseruput. Saat senja menjelma jadi malam, bercengkerama dengan orang terkasih ditemani segelas kopi tersaji unik, rasanya badan yang pegal-pegal pun kembali bugar. Saat waktu maghrib telah usai, kami memutuskan kembali ke penginapan untuk mengisi ulang tenaga esok hari.
Hari berikutnya tiba. Kami harus kembali ke Banda Aceh pagi itu. Tidur semalam sudah cukup mengisi tenaga kami. Tidak seperti saat berangkat yang pagi-pagi buta, waktu pulang kami lebih fleksibel. Tetap melewati jalur yang sama, perjalanan Meulaboh – Calang terasa lebih cepat. Pada perjalanan pulang ini kami lebih sering berhenti. Kami berhenti sejenak di sebuah pantai di kawasan rest area Rigaih, Aceh Jaya. Duduk bersantai di jamboe (pondok) di hari yang terik dibelai oleh angin sepoi-sepoi, menyapu pandangan ke pasir putih dan laut biru, sambil mengaliri tenggorokan yang kering dengan air kelapa muda, berdua pula sama istri. Lagi-lagi kami dibuat terpesona oleh keindahan Aceh.
Selain di Rigaih, kami pun berhenti di dua tempat yang tak kalah mempesona, Geurute dan Lhok Seudu. Bahkan, di Lhok Seudu kami bersantai sampai berjam-jam. Pasalnya, di tempat yang memiliki arti teluk yang berair tenang itu terdapat sebuah bukit kecil yang di atasnya ada rumah makan bernama Ujoeng Glee. Di sana menyediakan ikan bakar yang rasanya menggoyang lidah. Usai makan, kami tidak langsung pulang. Tubuh kami tidak mau beranjak karena masih ingin memanjakan mata dengan pemandangan laut yang senada dengan warna langit siang itu. Sayang, sebelum senja turun kami sudah kembali pulang. Padahal senja di sini terkenal indah. Mungkin lain kali kami harus ke sana lagi.
Saya dan istri memang sudah sering traveling berdua. Dari banyak perjalanan yang kami lakukan bersama, saya merasa perjalanan ke Meulaboh ini adalah yang paling capek. Capek dalam arti sebenarnya, yaitu capek badan. Bagaimana tidak, sesampai di rumah, kami berdua langsung terasa lunglai dan meriang. Beruntung kami melakukan perjalanan ke Meulaboh saat jembatan-jembatan yang rusak setelah tsunami selesai diperbaiki. Dulu, sebelum tahun 2013, untuk mencapai Meulaboh dari Banda Aceh, diperlukan waktu tempuh sampai 12 jam karena harus naik rakit melewati sungai-sungai. Tidak terbayang bagaimana lebih capeknya saat dulu. Saya merasa bangga pada istri saya. Dengan waktu yang sangat singkat, hanya 2 hari 1 malam, menempuh lebih dari 500 km dibonceng naik motor, untuk seorang wanita menurut saya sudah sangat hebat. Apalagi selama melakukan perjalanan tidak ada satu keluhan pun yang muncul dari mulut istri. Yang ada hanya senyuman yang merekah dan candaan yang mengalir deras.
Kata orang, mencari teman seperjalanan yang cocok itu seperti mencari jodoh, susah-susah gampang. Kembali ke masa sebelum menikah, saya datang ke Bintan, tempat domisili istri waktu itu, memang berniat untuk mencari jodoh. Siapa sangka, setelah menikah saya malah punya travelmate yang sejalan dan seirama. Saya yang terkadang boros di perjalanan, ditemukan dengan pasangan yang mampu mengelola uang dengan baik selama traveling. Selain bermotor-ria, istri saya juga tak canggung naik angkutan umum yang kurang nyaman sekali pun selama traveling di suatu tempat. Seperti saat kami di Bandung, selama 2 hari penuh kami naik angkot dari satu titik ke titik lain. Tiap saya bujuk naik taksi, dia bilang, “Sayang uangnya, masih dekat ini”. Atau saat perjalanan dari Jambi ke Sawahlunto naik bus trans Sumatera dia rela duduk di kursi di bagian smoking area. Tak jarang pula kami mencari sarapan di warung tepi jalan sekedar mencari kuliner khas di suatu daerah.
Pun begitu, bukan berarti dia pelit dan perhitungan. Ada kalanya kami menginap di hotel yang terbilang mewah, seperti saat wisata ke Malang beberapa waktu lalu, karena istri sedang hamil, kami memilih penginapan yang nyaman. Ada kalanya juga kami makan di restoran mewah untuk sekedar memberi penghargaan pada diri kami sendiri. Membayar hasil capek dan jerih payah kami sendiri dengan sesuatu yang lebih layak.
Namun, bukan berarti selama traveling berdua nihil konflik. Yah, namanya juga suami istri, bukan cuma sekedar travelmate, tentu saja ada banyak konflik di sana. Tapi bagi kami, sebagai suami istri ataupun sebagai travelmate, kami adalah sebuah tim. Tim yang bekerja bersama menuju sebuah tujuan. Saling berusaha mengerti dan memahami. Di saat ego kami sedang sama-sama tinggi, ada komunikasi dan kompromi di sana. Sehingga menemukan titik temu yang sama-sama membuat kami nyaman. Jika orang lain mendapatkan pasangan hidup karena traveling bareng, saya malah kebalikannya, mendapatkan travelmate karena menikah. Dan, road trip Banda Aceh – Meulaboh ini menjadi sekeping kenangan yang tak akan terlupakan bagi kami.
Ping balik: Road Trip Akhir Tahun: Kampoeng Wisata Cinangneng | The Science of Life