Orang Tua dan Guru (Seharusnya) Belajar dari Film Totto-Chan


Kemarin dulu, di hari pertama tayang, kami sekeluarga menyempatkan diri menonton film Totto-chan: The Little Girl at The Window di bioskop. Ini bukan pertama kali saya berinteraksi dengan kisah Totto-chan. Berbelas tahun lalu saya sudah membaca kisahnya dalam bentuk buku cerita, yang saat ini juga sedang dibaca oleh Bara. Kisah di filmnya sangat setia dengan kisah di bukunya. Bahkan beberapa hal saya merasa lebih mengena di hati saat diceritakan di film.

Setidaknya ada 3 hal yang menurut saya, kita (sebagai orang tua dan sebagai guru) dapat belajar dari kisah Totto-Chan.

1. Stigma negatif itu jahat bagi anak

Saking sukanya sama Totto-chan Bara sampai bawa bukunya segala

Di awal cerita, Totto-chan dikeluarkan dari sekolah karena dianggap nakal dan tidak bisa diatur. Padahal, menurut Bara, Totto-chan bukan anak nakal. Tapi dia anak yang memiliki rasa ingin tahu besar sekali. Bahkan di beberapa adegan, apa yang dilakukan Totto-chan di dalam kelas menjadi objek tertawaan teman sekelasnya, yang saya tangkap sebagai ejekan. Mungkin bagi Totto-Chan, ia tak mengerti bahwa itu adalah ejekan. Tapi bagi anak-anak yang (pernah) memiliki gangguan kecemasan seperti Bara dan hati yang sangat peka, hal itu jadi dirasakan sebagai ejekan. “Kasihan ya Pak Totto-chan ditertawain temen-temennya”, begitu komentar Bara saat lihat adegan tersebut.

Saya relate dengan yang terjadi pada Totto-chan di awal film karena melihat Bara. Bara mirip sekali dengan Totto-chan yang penuh rasa ingin tahu dan sangat ekstrovert, bisa bercerita banyak dengan orang lain (di film bahkan digambarkan Totto-chan pernah ngobrol sama Pak Kobayashi, Kepala Sekolah Tomoe, sampai lama banget).

Bara (pernah dan mungkin saja masih) dicap sebagai anak ‘tidak bisa disenggol’ karena Bara sering mengungkapkan kesedihan dengan menangis. Bara pernah dibilang sebagai ‘anak sombong’ di depan teman sekelasnya oleh guru karena bilang ‘gampang banget’ saat guru bertanya gampang atau tidak ulangan harian matematika yang baru saja dikerjakan. Mungkin gurunya tidak merasa itu melukai hati Bara. Bisa jadi karena memang gurunya belum memiliki ilmu dalam berinteraksi dengan anak-anak yang tentu saja masing-masing berbeda sifat dan kondisi. Tapi yang dirasakan Bara, hatinya luka karena merasa dipermalukan di depan teman sekelasnya. Untungnya, Bara anak yang pintar. Alih-alih memendam perasaannya, Ia malah minta untuk diskusi dan mengungkapkan ganjalan yang ada di hatinya dengan gurunya agar merasa lega.

Mungkin bagi sebagian orang menganggap apa yang dilakukan Bara adalah hal yang tidak baik, tapi bagi kami, sikap Bara sampai mau meminta diskusi langsung dengan gurunya adalah suatu sikap sangat positif karena berani mengungkapkan perasaan sekaligus mampu berpikir kritis.

2. Menghargai anak itu sangat penting

Sejak Totto-Chan pindah ke Sekolah Tomoe Gakuen, terlihat sekali tenaga pendidik di sana, terutama sang Kepala Sekolah, Pak Kobayashi, sangat menghargai anak-anak. Selain Totto-Chan yang diberi kesempatan ngobrol berlama-lama dengan Pak Kobayashi, juga diberikan kebebasan untuk melakukan sesuatu asal bertanggung jawab (terlihat di adegan Totto-Chan menguras septic tank karena dompetnya terjatuh di sana). Komunikasi yang dilakukan Pak Kobayashi adalah murni afeksi, yang mau dan mampu mengerti dan menghargai anak. Yang pada akhirnya, saya mengambil kesimpulan bahwa pantas saja suasana kelas di Sekolah Tomoe terlihat sangat kondusif dan menyenangkan. Anak-anak adalah peniru ulung. Ketika Pak Konayashi mampu menghargai anak-anak, itulah yang ditiru anak-anak saat saling berinteraksi.

Terbukti, di kelas Totto-Chan yang adalah kelas inklusi karena ada seorang siswa bernama Yasuaki yang kurang sempurna akibat sakit polio, tidak ada sama sekali ejekan yang diterima Yasuaki. Bahkan, alih-alih merundung, semua anak malah mampu kompak menjadi upstander saat Yasuaki dirundung oleh anak-anak dari luar sekolah. Di adegan lain juga ditunjukkan bagaimana Yasuaki ikut lomba lari kaki 3 dengan Totto-chan yang berakhir mengharukan.

Terlihat juga satu adegan ketika Pak Kobayashi mengajarkan bahwa semua anak adalah sama. Yaitu adegan semua anak diperbolehkan berenang telanjang bersama. Filosofi yang di bukunya dijelaskan dengan sangat gamblang. Pak Kobayashi ingin mengajarkan kepada anak-anak bahwa semua tubuh itu indah. Di antara murid-murid Tomoe ada anak yang menderita Polio seperti Yasuaki. Pak Kobayashi berpendapat jika mereka bertelanjang dan bermain bersama, rasa malu mereka akan hilang dan itu akan membantu mereka menghilangkan rasa rendah diri. Dan itu terbukti di cerita Totto-chan. Tapi tentu saja itu nilai yang dianut oleh Pak Kobayashi dan murid-muridnya di Tomoe. Bagi kami yang seorang muslim, tentu berbeda memandang tentang telanjang bersama ini karena terdapat konsep aurat bagi muslim. Walau secara nilai memang berbeda, tapi secara prinsip bahwa Pak Kobayashi mendorong dan mencontohkan anak-anak agar percaya diri itu menurut saya sangat bagus.

Saya sangat kagum dengan kisah ini karena pada tahun 1940-an ternyata sudah ada sekolah yang begitu menghargai murid-muridnya. Sudah ada Pak Kobayashi yang berpikiran sangat progresif. Ya, kisah Totto-Chan ini kisah nyata dari Tetsuko Kuroyanagi, sang penulis. Jadi, karakter-karakter di buku dan film itu juga berdasarkan pada kenyataan. Menurut saya, seharusnya, kita yang hidup di 2024 ini, puluhan tahun sejak eranya Totto-chan, yang tentu saja ilmu pengetahuan tentang psikologi, mental health, dan parenting lebih berkembang, bisa lebih menghargai anak-anak kita.

3. Memotivasi anak dengan perkataan dan sikap yang positif

Saya belajar dari orang tua Totto-chan dan Pak Kobayashi. Sepanjang film, tidak pernah sekalipun mereka memarahi ataupun berkata tidak baik kepada Totto-chan. Bahkan di beberapa bagian film, Pak Kobayashi selalu bilang ke Totto-chan bahwa ia anak yang baik. Padahal di sekolahnya yang lama Totto-chan terkenal karena dicap nakal.

Bagi saya sendiri, walau sering berusaha untuk selalu bersikap positif, tentu di beberapa kejadian pernah kelewatan sampai memarahi Bara. Sangat manusiawi menurut saya. Tapi bagaimana kemauan untuk berubah yang menurut saya sangat penting. Biasanya kalau saya kelewatan memarahi Bara, saya akhiri dengan minta maaf dan menjelaskan kenapa saya sampai marah. Tak selalu karena kesalahan Bara, tapi sering kali malah karena saya yang kurang bijak mengelola emosi.

Motivasi dengan kalimat yang baik seperti yang dilakukan Pak Kobayashi menurut saya sangat penting dilakukan orang tua dan guru. Suatu ketika Bara pernah mengalami kesulitan belajar matematika tentang pengukuran berat, dari ton, kuintal, kilogram, sampai miligram. Saya jelaskan berkali-kali Bara tetap belum mengerti. Alih-alih marah, mengatai Bara dengan kata kasar, atau menyamakannya dengan anak sapi yang plonga-plongo tidak bisa diajar, saya memilih untuk memotivasinya dengan sesuatu yang sangat dekat dengannya. Sejak kecil Bara jika ditanya cita-citanya sering kali bilang ingin jadi orang kaya. Saya bilang, untuk jadi orang kaya harus bisa pengukuran. Biar tidak dibohongi orang. Misalnya Bara mau bangun rumah mau beli semen 1 kuintal, ternyata si penjual memberinya 90kg. Kalau Bara tidak tahu bahwa 1 kuintal adalah 100kg, tentu dia akan rugi. Membayar lebih banyak tapi dapat semen lebih sedikit 10kg. Alhamdulillah dengan logika yang dekat dengannya itu Bara jadi lebih termotivasi belajar matematika.

Selfie bertiga sesaat sebelum film Totto-chan dimulai

Pada akhirnya, menjadi orang tua itu belajar sepanjang waktu. Anak lahir tidak dilengkapi dengan manual book yang bisa kita pelajari. Tapi berbeda dengan guru. Untuk menjadi guru harus kuliah dulu, yang tentunya mendapat ilmu yang cukup untuk melakukan pengajaran. Seharusnya menurut saya, seorang guru bisa lebih bisa mengerti anak didiknya karena sudah dibekali ilmu saat kuliah.

Saya bersyukur, saya dan istri adalah orang yang suka belajar. Saya ingat sekali dulu, di awal menikah, bahkan istri hamilpun belum, saya sudah membeli dan membaca buku Catatan Ayah ASI, demi belajar pentingnya ASI untuk calon anak nanti. Pun sampai sekarang, mulai dari podcast dan buku tema parenting, konsultasi dengan psikolog, semua kami lakukan. Bahkan yang saat ini mulai sering kami lakukan adalah diskusi langsung dengan Bara.

Topik paling seru yang pernah dan masih menjadi bahan diskusi Bara dengan saya adalah tentang boleh tidaknya anak laki-laki menangis. Di kelas, gurunya memberi aturan kalau anak laki-laki tak boleh menangis. Bara merasa tidak mendapat penjelasan dari gurunya alasan kenapa anak laki-laki tak boleh menangis. Saya, memang tak setuju kalau anak laki-laki tak boleh menangis. Tapi saya bantu Bara untuk menemukan jawabannya sendiri dengan berdiskusi.

Kira-kira begini pemantik diskusinya, saya buka dengan pertanyaan, “kalau laki-laki tak boleh menangis, menurutmu untuk apa Allah menciptakan kelenjar air mata di tubuh anak laki-laki?”. Lalu berlanjutlah diskusi dari membahas anatomi tubuh yang memiliki kelenjar air mata, tentang perasaan sedih, sampai kondisi mental health manusia. Jikapun saya mentok tak bisa menjawab, saya ajak Bara mencari jawaban bersama-sama, baik dari buku ataupun google. Beruntung sekali saya menjadi orang tua yang hidup di dunia digital saat informasi tentang apapun mudah didapat. Bahkan, untuk meyakinkan Bara saya sempat meminta teman saya yang sedang kuliah S2 Psikologi Klinis anak dan Remaja untuk mencarikan jurnal ilmiah terkait hubungan laki-laki dan air mata. Tak lupa, saya kasih contoh juga bahwa saya, Bapaknya Bara yang berusia mulai mendekati 40 tahun, juga pernah menangis.

Cukup menghabiskan waktu memang berdiskusi dengan Bara. Tapi itulah yang kami biasakan. Memang kami bisa saja memilih untuk selalu menuntut bahwa kami sebagai orang tua adalah orang yang paling benar dan paling harus dituruti oleh Bara. Tapi kami tidak memilih otoriter seperti itu. Semua hal yang kami bilang ke Bara, jika Bara ingin menanyakan alasan kami bilang sesuatu itu, kami terbuka lebar menyambut pertanyaan Bara dan berusaha menjawabnya sampai tuntas. Bahkan saking panjangnya diskusi, terkadang sampai dilanjut dibahas di hari berikutnya. Menurut saya, kemampuan berpikir kritis itu sangat penting untuk Bara saat ini dan pastinya di masa mendatang.

Kembali ke film Totto-chan, bagi kami film tersebut adalah salah satu media untuk belajar menjadi orang tua yang lebih baik. Walau kadang memang terasa sangat sukar menjadi orang tua, tapi di situlah tantangannya. Ya, saking susahnya, menurut saya menjadi orang tua itu perlu belajar seumur hidup. Itu sudah menjadi tekad saya untuk selalu belajar sejak Bara lahir 9 tahun lalu. Dan disertai usaha dan doa tentunya. (Seharusnya) Orang Tua dan Guru (mau) belajar dari kisah Totto-chan.

Sekarang tinggal kita, mau atau tidak belajar dan memperbaiki diri. Bagaimana dengan kamu?