Menikmati Lhok Mata Ie


Matahari mengintip malu di balik awan putih. Langkah kaki yang beralaskan sandal gunung mantap  menyusuri jalan setapak melintasi pepohonan rimbun dan semak belukar setinggi lutut. Nyanyian burung, suara serangga, dan lenguhan monyet liar di kejauhan memanjakan telinga. Hamparan hijau semak belukar merayu mata untuk sekedar mengabadikan dalam pikiran. Ketika hampir sampai di tempat tujuan, gemericik air yang mengalir di sungai kecil menandakan ada mata air bersih di sana. Tak lama setelah turunan yang cukup curam, debur ombak terdengar. Itu berarti sudah sampai di Pantai Lhok Mata Ie.

Kawan perjalanan kali ini

Tadi pagi adalah keempat kalinya saya mengunjungi pantai yang letaknya agak tersembunyi ini. Karena ada beberapa kawan yang belum pernah ke sana dan ingin ke sana, maka saya pun menemani mereka sebagai pemandu jalan. Kami melewati rute yang biasa untuk sampai ke pantai Lhok Mata Ie, yaitu rute Ulee Lheue – Ujong Pancu. Tempat parkir kami pun tetap sama seperti beberapa kali saya berkunjung ke sana, yaitu di pekarangan peternakan ayam. Jalur yang kami lalui itu juga tetap tidak berubah sejak hampir 2 tahun lalu saya pertama kali ke sana, yaitu melalui hutan kecil melintasi perbukitan. Jalan menanjak di 15 menit pertama, jalan landai di 15 menit kedua, dan jalan menurun di 15 menit terakhir, dengan asumsi jalan kaki santai. Pantainya pun tetap mengagumkan seperti dulu. Tapi memang setiap perjalanan ke sana selalu memberikan pengalaman dan kesan berbeda bagi saya.

Kesan pertama ke sana yang saya rasakan adalah capek sekali. Mungkin karena memang tidak terbiasa hiking naik turun bukit dan masuk keluar hutan wajar dong saya kecapekan. Tapi berbeda dengan tadi. Tidak ada rasa capek sama sekali. Bahkan waktu tempuh kami tadi hanya setengah jam. Pernah ketika kali ketiga saya ke sana malah ditemani oleh beberapa anjing liar yang sepanjang perjalanan mengikuti saya. Bahkan anjing-anjing liar itu pun ikut berhenti ketika saya berhenti untuk sekedar menghela nafas dan membasahi tenggorokan. Menyenangkan sekali punya kawan seperjalanan anjing-anjing itu. Walaupun pada awalnya takut juga sih. Saya coba halau biar tidak diikuti tapi mereka bersikeras tetap ikut. Ya sudah, saya menyerah. Dan tadi pun ada pengalaman baru yang menarik untuk dibagi.

Pantai Lhok Mata Ie tadi pagi

Tadi tidak ramai di sana. Hanya kami berlima, dua orang pemancing yang menikmati waktu memancing ikan, dan seorang fotografer yang tampaknya serombongan dengan kedua pemancing itu. Tidak selalu ramai juga sih di sana. Tapi pernah, pada kunjungan saya sebelumnya, di sana ada beberapa tenda yang berdiri dengan beberapa kelompok mahasiswa yang sedang berkemah, suasana jadi riuh waktu itu. Kunjungan singkat tadi saya habiskan untuk duduk di lereng berbatu di sebelah kanan pantai yang memang adem sekali sambil membaca buku. Tidak lama saya hanyut dalam buku yang saya baca, suara ribut dari belakang mengganggu saya. Sekelompok monyet liar bergelayutan di pepohonan. Dengan antusias mereka mengawasi barang bawaan para pemancing yang letaknya tidak jauh dari tempat saya duduk. Sepertinya mereka sedang merencanakan sesuatu. Dan benar saja, tidak lama seekor monyet seukuran anak anjing mulai mendekati tas yang terdekat dengannya. Sekelebat terlihat monyet itu berhasil menyambar sesuatu. Sepotong biskuit menempel di mulutnya. Dan potongan biskuit lain tercecer di tanah berbatu. “Husss!!”, seru si Pemancing yang sadar ada seekor monyet yang mendekati mereka. Monyet itu pun kembali ke kelompoknya. Namun tak lama ternyata mereka pun mendekat lagi. Kali ini cukup ramai. Rupanya mereka ingin mengambil semua potongan biskuit yang tercecer. “Husss!!”, si Pemancing berseru lagi. Dan siang tadi dipenuhi kesibukan para Pemancing yang mencoba mengusir kawanan monyet itu dan di sisi lain para monyet itu pun tetap mendekat dengan gigih. Kesibukan berhenti ketika akhirnya para Pemancing itu mengemasi barang bawaan mereka dan berpindah tempat. Adegan yang sungguh lucu. Saya pun terbahak.

Dalam perjalanan pulang kami bertemu dengan beberapa ibu-ibu yang sedang menanam cabai di sisi landai bukit. Seorang ibu berseru menyapa kami. Entah saya tidak tahu artinya secara detail. Saya hanya tau kata “pajoh bu” yang dalam bahasa indonesia artinya makan nasi. Mungkin karena melihat kami kebingungan akhirnya ibu itu berkata, “tidak makan nasi di pantai? Sudah waktunya makan siang ini. Cepat pulang sana, cepat kalian makan siang”. Mungkin itu yang coba disampaikan ibu itu dengan bahasa Aceh. Kami pun tersenyum. Setelah bercakap-cakap sebentar, kami melanjutkan perjalanan.

Sesampainya di peternakan ayam dimana motor-motor kami parkir, saya menghampiri Bang Ade, salah seorang pegawai di peternakan itu, yang sedang mengumpulkan kotoran ayam untuk digunakan sebagai pupuk kandang. Kotoran ayam itu dikemas dengan menggunakan karung yang dijahit dengan tali rafia di bagian atas. Dari Bang Ade saya tahu kalau ayam-ayam yang ada di peternakan itu untuk dijual di pasar untuk konsumsi masyarakat kota Banda Aceh. Dalam sehari ternyata Banda Aceh memerlukan sekitar 6000 ekor ayam untuk memenuhi kebutuhan daging ayam. Sebagian kecil dipenuhi oleh peternakan di Ujong Pancu dan sebagian besarnya lagi diambil dari daerah Aceh Besar, Aceh Utara, dan Langsa. Pria asli Langsa itu pun bercerita tentang pantai tersembunyi lain di daerah Ujong Pancu yang bernama Lhok Keutapang. Sayang, dia tidak tahu rute untuk menuju ke sana. Yang dia tahu pasti adalah beberapa bulan lalu ada Tim SAR yang mencari orang hilang di sana. Mungkin karena jalan ke sana susah dan jarang sekali dilalui orang jadi ada yang tersesat. Dari Bang Ade juga kami tahu kalau ternyata perempuan tidak diperkenankan berkunjung ke Lhok Mata Ie dengan kawan pria. Tadi diantara kami memang ada satu perempuan, tapi setelah dijelaskan kalau perempuan itu adalah istri dari salah satu dari kami dan kami beralasan hanya sebentar di Lhok Mata Ie, kami pun diperbolehkan ke sana tanpa minta ijin. Sebenarnya harus ijin dulu ke kelurahan apabila yang berkunjung dalam satu rombongan berbeda jenis kelamin.

“Abang pernah ke sini kan dulu? Yang kunci motornya ketinggalan?”, tanya Bang Ade pada saya di akhir obrolan. Oh, ternyata dia masih ingat kejadian beberapa waktu lalu ketika saya panik kembali dengan tergesa-gesa dari Lhok Mata Ie menuju ke tempat parkir karena saya teringat kunci motor masih nempel. Kalau bukan karena Bang Ade yang mengamankan kunci motor saya mungkin saya sudah tidak punya motor lagi sekarang. Setelah mengucapkan terimakasih atas tempat parkir dan obrolan menyenangkan, akhirnya kami pamit. Kapan-kapan pasti saya akan berkunjung ke sana lagi untuk sekedar memperoleh cerita baru untuk dibagi.

Pantai Lhok Mata Ie, 2010

Lhok Mata Ie, juga pada 2010