Pesona Lebaran: Antara Rencana dan Kenyataan


Bagi saya, momen lebaran tentu selalu menyenangkan dan berkesan. Apalagi tahun 2015 ini, pertama kalinya saya berlebaran bersama istri dan anak. Ya, tahun ini adalah lebaran pertama Bara, anak kami yang baru berusia 6 bulan.

Tahun ini, kami mudik lebih awal, 10 hari sebelum lebaran. Lebih nyaman memang mudik jauh-jauh hari. Arus mudik belum padat, dan harga tiket masih relatif lebih murah. Karena membawa bayi, kami memilih moda transportasi pesawat agar perjalanan mudik kami terasa lebih nyaman. Walaupun tetap harus melanjutkan lagi naik kendaraan darat setelah pesawat mendarat, setidaknya perjalanan udara dapat memangkas drastis waktu tempuh. Kalau biasanya naik bis dari Jakarta ke Juwana –kampung halaman kami yang berada di wilayah Kabupaten Pati, Jawa Tengah– menempuh waktu sampai 12 jam, dengan pesawat Jakarta – Semarang dan kendaraan darat Semarang – Juwana, mudik kami hanya menempuh waktu kurang dari 4 jam.

Sepertiga sisa puasa terasa sangat nikmat dijalani bersama dengan keluarga besar. Kalau biasanya di perantauan dimasakin istri, di kampung halaman, hidangan sahur dan berbuka puasa menjadi sangat beragam dengan berbagai cita rasa. Ada cita rasa koki ibu dan koki istri dengan sajian masakan rumahan. Dan ada pula koki warung-warung kuliner lokal yang menjadi langganan kami. Nasi gandul, soto kemiri, mangut ndas manyung, sate srepeh, dan lontong tahu, adalah beberapa kuliner lokal yang wajib kami nikmati saat mudik.

Kuliner yang wajib disantap saat mudik (Lontong Tuyuhan, Sate Srepeh, Soto Kemiri, dan Nasi Gandul)

Bagi kami, lebaran juga menjadi momen menyambung silaturahim antar kerabat, saudara, dan sahabat. Sekalian mengenalkan Bara yang baru kali ini kami ajak mudik, kami beranjangsana sambil berwisata. Sekedar menikmati sejuknya alam Jepara, asrinya lereng Gunung Muria di Kudus dan Pati, atau menikmati indahnya pantai di pesisir Rembang saat event Sedekah Laut berlangsung.

Tapi yang paling seru adalah keliling kota Juwana menggunakan delman bareng Bara dan saudara-saudara sepupunya. Yah, walaupun kecil, Juwana punya tempat-tempat yang menarik untuk jalan-jalan lho. Melewati kawasan pecinan yang dipenuhi bangunan tua di dekat alun-alun, menuju pelabuhan kapal nelayan dan Tempat Pelelangan Ikan di pinggir aliran sungai Silugonggo. Lalu lanjut ke utara, melintasi tambak udang dan bandeng. Dan, tepat saat sunset, terlihat matahari menghilang di balik siluet Muria. Cahaya jingganya memantul di genangan air tambak. Siapa sangka, sunset di hamparan tambak bisa terlihat magis seperti itu.

***

Matahari menghilang di balik Muria

Tapi sayang, itu semua hanya rencana dan harapan…

Kenyataannya tidak semanis rencana…

Baru 2 hari mudik di kampung halaman, Bara sakit. 3 malam 4 hari kami harus menginap di salah satu rumah sakit di kota Pati. Suatu pagi menjelang sahur, Bara demam tinggi dan muntah-muntah. Siangnya, bukannya makin sembuh, tapi malah ketambahan mencret. Walaupun sempat dibawa ke dokter untuk rawat jalan, tapi karena kondisi badan Bara sudah sangat lemas karena dehidrasi, hari itu juga, usai isya, kami merelakan Bara di-opname.

Drama menjelang idul fitri tidak lantas mereda saat Bara pulang dari Rumah Sakit. Mungkin karena kecapekan, ibunya Bara yang gantian tumbang. Sampai-sampai ASI-nya pun mengering. Paniklah saya. Mana Bara masih dalam pemulihan kesehatan. Pontang-pantinglah saya mencari donor ASI. Beruntung ada seorang sahabat yang rela kami (repoti) mintai beberapa botol ASI perah.

Walaupun idul fitri kemarin terasa penuh drama, tapi keceriaan tetap mendominasi. Malam takbiran, saya menemani Bara melihat pawai takbir keliling dari depan rumah. Ya, pawai takbir keliling memang menjadi rutinitas setiap tahun. Tak hanya bertakbir sambil berkeliling desa, pelbagai macam bentuk kreatifitas tersaji di sana. Ada yang membuat bentuk bermacam binatang yang ada di Al Quran seperti lebah, gajah, dan semut yang berukuran besar. Ada pula bentuk-bentuk populer seperti Spongebob dan Patrick Star berukuran besar ikut berpawai. Suasana sangat meriah. Kemeriahan yang saya yakin hanya ada di kampung-kampung.

Rutinitas lain setiap tahun yang tak pernah absen adalah shalat ied bersama dan pertemuan keluarga besar. Memandang wajah-wajah anggota keluarga yang penuh kemenangan di hari raya sambil bersalaman dan bermaaf-maafan sungguh menenangkan hati. Bagi saya, tak ada yang lebih menggembirakan dalam merayakan hari raya selain bersama dengan orang-orang tersayang.

20150718_101139

Selfie Keluarga di depan rumah Mbahnya Bara usai Shalat Ied

Karena Bara masih dalam pemulihan kesehatan, praktis kami tidak banyak berpergian. Rutinitas beranjangsana pun terpaksa kurang maksimal. Namun kami tetap menyempatkan berkunjung ke rumah saudara-saudara dekat, dan tentu saja tak ketinggalan berwisata rasa menyantap beberapa kuliner khas yang sudah kami rindui selama setahun terakhir. Soto Kemiri dan Nasi Gandul menjadi pilihan kami untuk mengobati rindu. Menyesap kuah panas soto dan nasi gandul yang beraroma harum rempah, tak sadar saya sampai nambah 2 kali!

Itu cerita momen lebaran saya tahun ini bersama keluarga yang terasa begitu memesona hati. Saking memesonanya, tak salah jika disebut Pesona Lebaran, walaupun antara rencana dan kenyataan sedikit berbeda. Setiap orang pasti memiliki pesona lebaran sendiri yang istimewa. Punya pesona lebaran yang layak dibagi dengan orang lain? Yuk ikuti Kontes Foto Instagram Pesona Lebaran dengan hashtag #PesonaLebaran yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata Indonesia. Semoga Pesona Lebaran yang kita bagi menjadi inspirasi dan manfaat bagi orang lain.