Menjejak Melaka (Part 1)


Weekend pas bulan puasa gini suka bingung deh mau ngapain. Pengennya sih jalan-jalan ke mana gitu.. Tapi karena kebetulan sudah bingung juga mau ke mana di sekitar-sekitar kota ini, kebanyakan saya habiskan buat ngamar aja sih. Ngamar di sini maksudnya ibadah (baca: tidur) dong.. Kan bulan puasa harus banyak-banyak beribadah. Namun kadang, ada rasa capek dan bosan juga kebanyakan ibadah. Yah, daripada nganggur, saya cerita traveling saya beberapa bulan lalu yang sebenarnya tulisan ini sudah ngendon cukup lama di draft *bersihin jaring laba-laba*

Pintu depan Tidur Tidur Guesthouse

Pertengahan Mei lalu, saya bersama seorang kawan melakukan perjalanan ke negeri tetangga yang dikenal sebagai Truly Asia. Tujuan utamanya sih untuk mengunjungi salah satu kota yang dinobatkan sebagai World Heritage Site UNESCO, Melaka. Selain Melaka, di Malaysia ada Georgetown di Pulau Pinang yang juga dinobatkan sebagai Heritage Site (baca catatan perjalanan saya ke Penang di sini dan di sini).

Penerbangan AK1305 trayek BTJ-KUL yang dijadwal ulang semula berangkat pukul 13.05 menjadi pukul 11.55 ternyata menjadi berkah bagi kami. Pasalnya, kami malah bisa mengejar Transnasional Bus trayek LCCT-Melaka yang berangkat pukul 16.00. Padahal awalnya berniat untuk naik KLIA Transit dulu menuju Terminal Bersepadu Selatan baru kami lanjutkan naik bus ke Melaka. Sesampai di LCCT sebenarnya sempat bingung cari loket tiket Transnasional Bus. Tidak seperti beli tiket Sky Bus atau Aero Bus yang bisa langsung beli sama penjual tiket di tempat menunggu bus, ternyata Transnasional Bus menggunakan loket khusus yang letaknya di terminal kedatangan domestik. Setelah mendapatkan tiket seharga RM 21.90 per orang, kami menaiki Transnasional Bus yang sudah ngetem.  

Perjalanan ke Melaka menempuh waktu sekitar 2,5 jam dengan pemandangan yang cukup membosankan sepanjang perjalanan. Bagaimana tidak membosankan kalau sepanjang perjalanan disuguhi kebun kelapa sawit. Praktis, selama hampir 2,5 jam itu pun saya habiskan waktu untuk tidur. Menjelang senja, sampailah kami di Melaka Sentral, terminal bus utama yang dilengkapi dengan shopping centre dan food court. Kalau jalan-jalan ke luar negeri ya suka iri gini deh. Ngeliat terminal bus Melaka Sentral aja saya iri setengah mati. Terminal ini bersih, rapi, tertib, dan sangat nyaman. Jangan bandingin lah sama terminal-terminal bus di negara kita yang masih banyak preman dan calo, bikin malu dan minder.

Dari sini, kami menuju ke terminal bus dalam kota untuk mencari Panorama Bus bernomor 17 yang akan membawa kami ke kawasan Stadthuys. Suasana dalam bus benar-benar semarak. Selain orang-orang lokal, ada pula beberapa turis asing berpenampilan khas dengan ransel segede gaban menempel di punggung dan sebuah buku Lonely Planet di tangan. Dengan membayar RM1.50 per orang, kami turun pas di depan Red Clock Tower yang berdekatan dengan bangunan Stadhuys dan Christ Church Melaka. Suasana senja menyambut kami. Langsung terbengong-bengong aja kami melihat eksotisme kompleks bangunan tua kolonial yang ramai dengan turis dan kicauan burung-burung yang sedang sibuk akan kembali ke peraduan mereka.

Kawasan Jonker Street kala malam, sepi kan?

Langkah kaki kami langsung menuju ke penginapan Tidur Tidur Guesthouse yang sudah lebih dulu saya pesan via hostelworld. Sempat juga kesasar karena salah membaca peta, akhirnya kami sampai di lokasi penginapan. Stanley, pemilik Guesthouse menyambut kami dengan ramah. Setelah diberikan tour singkat oleh Stanley mengenai ruangan-ruangan di penginapannya plus diberikan pinjaman peta, kami pun bersiap bersih-bersih diri untuk kemudian mencari makan malam.

“Mas dari Indonesia juga?”, tanya seorang cewek yang sedang duduk asyik dengan laptop-nya di koridor yang disulap Stanley sebagai ruang bersama. Ternyata bertemu traveler asal Indonesia juga di sini. “Di sini susah mas cari makan kalau malam. Banyak yang pada tutup. Tapi ada 1 warung makan di pinggir sungai di seberang hotel Casa Del Rio. Kemarin saya makan di sana”. Oke, saya pun mengikuti sarannya.

Suasana warung yang-saya-lupa-namanya itu cukup sepi. Hanya ada kami dan 3 orang pengunjung lainnya. Kami pun memesan ikan asam pedas. Tak disangka, ternyata masakannya enak. Dan yang lebih asyik, di dekat warung itu disediakan layar besar dan sound system mumpuni untuk karaoke. Dan kami pun terhibur dengan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh pengunjung lain. Karena kebanyakan lagu yang dinyanyikan adalah lagu Indonesia. Haha..

Setelah kenyang, waktunya kembali ke penginapan dan beristirahat. Sebenarnya sih pengen jalan-jalan sebentar juga, namun karena kawasan World Heritage Site di Melaka ini memang benar-benar sepi ketika malam, akhirnya kami hanya menyusuri pinggiran sungai Melaka kemudian kami langsung kembali ke penginapan yang kebetulan juga berada di pinggir sungai. Kesan pertama menjejak Melaka, beyond my expectation. Saya suka sekali dengan eksotisme bangunan-bangunan tuanya yang terawat. Gak nyangka sebagus itu. Terus suasananya yang cukup sepi juga membuat hati lebih tenang dan tidak grusa-grusu. Tapi memang sih saya kalau pergi ke mana gitu tidak pernah mengharapkan sesuatu yang wow. Jadi ketika sampe di suatu destinasi ya biasanya memang selalu merasa surprised dan excited.

…to be continued..

Jalan sepi

Christ Curch Melaka at night